Antara Tuntutan Upah dengan Gaya Hidup Buruh

Bismillahirrahmanirrahim

Masih hangat dibenak saya beberapa hari yang lalu saat para pendemo itu melakukan sweeping ke perusahaan-perusahaan di kawasan industri Lippo Cikarang. Mereka mengajak para buruh yang 'taat' untuk ikut serta dalam barisan mereka untuk menuntut kenaikan Upah minimum regional (UMR). Mereka -buruh yang berdemo itu- tak terima jika mereka 'berjuang' sendirian namun masih saja ada buruh-buruh lain yang duduk manis menunggu hasilnya.

Ilustrasi : Kawasan Industri Hyundai (dok pribadi)
Aksi anarkis buruh itu pernah disampaikan oleh senior saya, Bu Astuti, yang telah lama bekerja di kawasan industri tersebut. Ia berujar bahwa pernah suatu ketika kantornya dimasuki buruh tersebut dan mereka dipaksa untuk keluar, tidak ada yang kerja. Jika buruh-buruh yang patuh itu masih membandel, maka aksi anarkis pun tak dapat dihindari. Mereka dengan sewenang-wenang mereka akan melakukan segala hal untuk membuat aktivitas kerja terhenti. Hingga akhirnya banyak perushaan yang tidak mau ambil resiko memulangkan (baca:meliburkan) karyawannya pada hari itu.

Sebenarnya apa yang membuat buruh ingin sekali menaikan upahnya? kurangkah gaji mereka selama ini?

Saya sebagai pemain baru, atau anda sebagai penonton mungkin tidak akan bisa memberikan jawabannya bila bukan sebagai 'pemain lama'. Karena itu kita bisa liat kebutuhan mereka versi KSPI (Konfederesi Serikat Pekerja Indonesia) yang dilansir oleh Metro.news.viva.co.id berikut :



Jadi dari berita tersebut mereka butuh sedikitnya 3,2 juta untuk dapat hidup layak.

Namun secara terpisah media lain meliput tentang aksi demo yang dilakukan buruh. Dalam aksi tersebut terdapat buruh yang mengendarai motor Ninja 250cc yang dibanderol dengan harga 52,9 juta OTR JADETABEK. Berita selengkapnya dapat dibaca di spoiler ini.



Lalu apa tanggapan buruh setelah mendengar berita ini?

Seorang teman satu perusahaan dengan saya menuturkan pendapat temannya bahwa hal tersebut 'wajar'. "Karena kita ke kota kerena ingin hidup lebih baik, kalau cuman buat makan aja, di kampung cukup" ungkap dia menirukan pendapat temannya itu. hmmm, speechless mendengar perkataan teman saya itu.

Namun, setelah 5 bulan lebih saya bekerja di perusahaan di sebuah kawasan industri, realita kini mulai tampak. Ada buruh rela berhutang demi membeli TV LED 29 inch, padahal harga TV tersebut merangsek habis separuh lebih gaji bulanannya. Ada buruh yang memiliki ponsel lebih mutakhir dari yang saya miliki, namun gajinya tak lebih tinggi dari saya,

Ironis memang...

Barang mewah terbayar lunas, namun kebutuhan perut dihutang..

Dalam kondisi yang serba terjepit, akhirnya mudah terprovokasi..

Belum lagi isu pengusaha yang selalu berhadapan pungli 'resmi' berpakain dinas dikaitkan berdampak kepada buruh secara tak langsung.

"Tutuntutan kenaikan gaji buruh hanyalah untuk memenuhi gaya hidup bukan kebutuhan hidup" kutip sebuah status di facebook. Jika memang mampu untuk berwirausaha, mengapa kita pilih menjadi buruh (pekerja)?, Kalaupun seandainya kita memilih untuk berwirausaha sendiri, hasilnya pun belum tentu lebih besar daripada gaji yang didapatkan sebagai seorang buruh.

Jika merasa diperlakukan tidak adil maka perjuangkanlah hak kalian, namun bukan dengan demo.. Demo bukanlah solusi, bukankah negara telah mengatur sebuah pengadilan di dunia yang dapat engkau usahakan.

Kenaikan upah bukan diraih dengan aksi anarkis, namun dengan ikhtiar dan tawakal. Bukankah Allah menjamin rezeki setiap hamba-Nya jika ia bertawakal, seperti laiknya seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keaadan kenyang. (http://sunnah.com/riyadussaliheen/1/79)..

Semoga -antara buruh, pengusaha, dan pemerintah- dapat menemukan jalan terbaik untuk mereka, win to win solution..

Salam untuk mu wahai buruh, yang berjuang tuk keluarga mu...

Postingan populer dari blog ini

Menggambar Teknik Mesin : Gambar Potongan Dasar

Teknik trim pada sampungan pipa dengan socket fitting

Hukum Hooke, Modulus Elastisitas, & Poison Ratio